Jakarta -
Mendung menggayuti pagi di Sumenep ketika kami meninggalkan hotel menuju Pelabuhan Tanjung Soronggi. Hamparan ladang garam menjadi pemandangan di perjalanan.
Tampak beberapa gundukan garam di tepian pematang. Warnanya putih, seperti pasir. Saya penasaran seasin apa rasanya. Matahari masih belum juga muncul selama 1 jam 12 menit perjalanan kami melintasi jalan raya Pemekasan Sumenep. Cuaca masih mendung. Mata saya menyapu jalanan.
Perlahan, langit mulai terang ketika mobil yang kami tumpangi tiba di jalan masuk Pelabuhan Tanjung. Tampak beberapa ibu menjual sayur-mayur dan kebutuhan sehari-hari di sekitar jalan masuk. Sepertinya itu pasar kecil. Dua orang ibu yang sedang menunggui dagangannya tersenyum pada kami lalu melanjutkan obrolan mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Banyak perahu ditambatkan di sepanjang pelabuhan. Pemandangan ini amat langka bagi saya. Rasanya terharu bisa lihat deretan perahu langsung. Biasanya kan hanya melihat di majalah, televisi, atau di halaman pencarian Google. Pagi ini kami akan menikmati keindahan Gili Labak.
Kabarnya keindahan pulau itu tidak kalah dengan Gili Trawangan di Lombok. Saya langsung membayangkan keindahan taman bawah lautnya. "Pokoknya saya harus snorkeling di sana,"tegas saya dalam hati.
Sebelum memulai perjalanan, semua penumpang mengenakan pelampung. Perjalanan menyeberangi Selat Madura menuju Gili Labak ditempuh selama 1,5 jam. Awal berangkat sih senang riang. Kami berfoto dengan latar kejernihan air laut, langit yang bersih, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Sekira 15 menit perjalanan, perut mulai terasa diaduk-aduk.
Saya bergegas duduk dengan harapan rasa mual ini berkurang. Sayangnya, mual makin terasa. Saya coba alternatif lain, berbaring. Ternyata piihan ini ampuh mengatasi rasa mual. Lama-lama saya pun terlelap. Tahu-tahu sudah sampai.
Keindahan Surgawi Gili Labak
Perjalanan ke Gili Labak merupakan bagian dari eksplor Sumenep dari detiktravel. Sebagai salah satu pemenang Dream Destination detiktravel, saya bersama tiga pemenang lain berkesempatan menikmati keindahan surgawi Gili Labak.
Decak kagum berhamburan ketika kami menjejakkan kaki di Gili Labak. Pasir putih di sepanjang pulau. Air lautnya jernih dengan gradasi biru tua kehijauan benar-benar memanjakan mata. Kecantikan yang harus diabadikan sebanyak-banyaknya dalam foto dan video untuk mengikat kenangan.
Ya, kapan lagi akan singgah di pulau cantik ini? Jadi, nikmati selagi bisa, eksplor semua keindahannya termasuk kulinernya kalo ada. Ada kuliner apa di Gili Labak? Waktu itu kami dijamu ikan bakar bumbu kecap dan mie goreng.
Bagian mie goreng ini sepertinya terinspirasi Annes, salah satu teman kami, yang ingin makan mie. Jadilah menunya ikan bakar, mie goreng, sambal tomat, dan sambal kecap. Tidak lupa air kelapa muda langsung dari buahnya. Hati senang, perut kenyang. Nikmat apa lagi yang kau dustakan?
Sesi selanjutnya tentu saja snorkeling. Hore! Akhirnya yang ditunggu datang juga. Dua teman saya mengurungkan niatnya ikut snorkeling. Seorang lagi masih sangat ragu karena ia takut. Saya tetap membulatkan tekad. Kapan lagi bisa snorkeling? Terakhir menikmati keindahan bawah laut sudah dua belas tahun lalu.
Berbekal semangat dan keberanian yang sudah saya kumpulkan sejak pagi, saya kenakan perlengkapan snorkeling. Pemandu memberi arahan cara pakai kacamata renang dan alat pernapasan.
"Pastikan tidak ada udara yang masuk ke hidung. Bernapas pakai mulut. Kalau ada air masuk, keluarkan dengan cara meniupnya," jelas Pak Pemandu.
Pikiran saya menerjemahkan arahannya. Bernapas pakai mulut. Dan ternyata hidung saya perlu adaptasi. Baru saja snorkeling, saya sudah menelan air karena teknik bernapas yang salah. Saya pun panik. Pemandu dengan sabar mengarahkan saya lagi. Oke, saya harus fokus mengarahkan mulut untuk bernapas. Alhamdulillah, snorkeling berjalan lancar.
Berbekal kemampuan renang level basic, saya menikmati panorama bawah laut Gili Labak. Terumbu karang, ikan warna-warni beraneka corak, dan laut yang jernih. Tak henti saya bersyukur dengan kesempatan bisa melihat semua keindahan ini.
Oh ya, ada sesi kasih makan ikan pakai roti. Terharu banget lihat ikan-ikan aneka corak mengerumuni tangan saya. Roti habis dalam sekejap. Saya ambil roti lagi. Kali ini rotinya pakai selai. Mereka mendekat, mencicipi roti sekejap, lalu pergi. Oh, ternyata ikan-ikan tak suka rasa manis berlebih pada roti.
Sebenarnya saya masih ingin berenang menyapa ikan-ikan dan terumbu karang, tetapi kaki sudah lelah dan cukup banyak juga saya menelan air laut. Rasanya pahit. Saking asinnya sampai terasa pahit. Belum lagi setelah berfoto di bawah air tadi, ketika saya menghentakkan tangan bergerak ke permukaan, gelang giok yang saya pakai terlepas.
Padahal sejak awal berenang, tangan saya aktif bergerak, si gelang aman-aman saja di pergelangan. Saya putuskan berhenti dan naik ke perahu. Waktunya pulang kembali ke darat. Perut mulai terasa diaduk-aduk lagi. Saya sempat bimbang apakah membiarkan pakaian renang saya kering di badan atau ganti baju saja?
Mengingat perut yang makin mual, mengantisipasi hal-hal tidak diinginkan, saya bergegas ganti pakaian di ruang dalam perahu. Setelah itu, saya berbaring, mengatur napas, mencoba tidur. Ternyata saya kembali terlelap meski sekejap.
Gili Labak tampak mengecil lalu hilang. Selamat tinggal, semoga kelak bisa kembali ke Gili Labak lagi. Pulau kecil yang sepi, tapi menyimpan keindahan tak terperi.