Jakarta -
Pemerintah resmi menyerahkan Rancangan Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (RAPBN) Tahun 2025. RAPBN ini dinilai menjadi jembatan antara pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto sebagai Presiden Terpilih RI.
Ketua Banggar DPR Said Abdullah menekankan RAPBN 2025 harus menjadi titik pijak arah kebijakan pembangunan ke depan.
Said menyoroti target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% di 2025. Menurutnya selama periode 2015-2023, hanya sekali pertumbuhan ekonomi RI melampaui target APBN. Yakni di tahun 2022 yang sebesar 5,31% dari target 5,2 persen, dan berhasil mencapai 5,31 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kenyataan ini mengundang tanya, kenapa kita sulit mencapai target pertumbuhan ekonomi? Jawabannya sudah ada dipikiran kita semua, kita menghadapi berbagai persoalan struktural; ekonomi biaya tinggi karena perizinan dan korupsi, ketidakpastian hukum, kualitas SDM yang belum terampil, belum terjalin secara baik konektivitas antar wilayah dan menurunnya demokrasi. Berbagai persoalan ini sudah kita bincangkan sudah lama sekali. Namun seolah belum cukup energi untuk keluar sepenuhnya dari persoalan ini," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (27/8/2024).
Dia menilai selama ini pertumbuhan ekonomi dipengaruhi konsumsi domestik. Namun, kata dia, saat ini jumlah konsumsi domestik terancam menurun, seiring dengan berkurangnya kelas menengah Indonesia.
Said mengatakan sejak enam tahun lalu, jumlah kelas menengah kita turun 8 juta jiwa. Padahal mereka adalah penggerak konsumsi domestik Indonesia. Karena itu, Pimpinan Banggar DPR mendorong pemerintah lebih progresif menyelesaikan berbagai persoalan struktural yang menghambat pertumbuhan ekonomi.
Mengacu pada dokumen Visi Indonesia 2045, dibutuhkan tingkat pertumbuhan ekonomi 5,4 persen. Asumsi ini menurutnya di level moderat, apabila belum melangkah hingga 6 persen.
"Kita membutuhkan sejumlah modal penting untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,4, strateginya konsumsi domestik harus dijaga dengan inflasi yang terjaga rendah, investasi yang menopang pembukaan lapangan kerja baru, serta memberikan nilai tambah atas produk ekspor. Setidaknya kita membutuhkan kontribusi investasi minimal 1,5 persen, dan ekspor 0,5 persen sebagai penyumbang pertumbuhan ekonomi tiap tahun. Dengan demikian tulang punggung permintaan bukan hanya konsumsi domestik," terangnya.
Lebih lanjut dia juga menyoroti persoalan nilai tukar Rupiah. Seperti diketahui, grafik transaksi kurs Rupiah cenderung melemah.
Said menyebut pada tahun 2025 pemerintah mengusulkan kurs Rp 16.100/US$. Di sisi lain, pihaknya menyarankan agar kurs bisa ditekan lebih rendah ke level Rp 15.90/US$.
"Kita yakin, dengan transformasi struktur ekspor yang lebih bernilai tinggi, dan menguat investasi, serta kebijakan bauran sistem pembayaran yang beragam dari sejumlah mata uang mitra dagang, akan membuat rupiah lebih kuat," jelasnya.
"Pemerintah mengajukan tingkat bunga SBN 10 tahun sebesar 7,1 persen. Suku bunga SBN yang tinggi yang kita dapati telah menjelma menjadi beban tinggi. Jumlah kumulatif bunga utang sejak 2015 hingga 2023 senilai Rp 2.569,4 triliun. Dengan tingkat bunga government bond tertinggi dibanding negara peers membuat fiskal tidak sehat," imbuh Said.
Said menekankan pemerintah harus mencermati dan mengembangkan best practice dari negara tetangga yang berada di level 1 -3 persen. Pihaknya berharap suku bunga SBN bisa lebih rendah di nota keuangan RAPBN 2025, setidaknya di rata rata 6,9 persen.
"Dan ke depan didorong bisa lebih rendah lagi, serta mengembangkan skema pembiayaan yang lebih murah," kata Said. .
Dia menjelaskan setiap tahun negara Indonesia menghadapi persoalan akibat menurunnya lifting minyak dan gas bumi. Pada rentang waktu 2015-2023 jumlah kumulatif defisit perdagangan minyak mentah US$ 147,3 miliar . Hal ini terjadi lantaran produksi minyak mentah terus menurun, dan tingkat konsumsi semakin tinggi.
"Kita perlu mempertimbangkan untuk meletakkan target bauran energi baru dan terbarukan sebagai indikator strategis pembangunan dalam APBN. Langkah ini untuk mengukur kebijakan transformasi energi kita tiap tahun, sebab akan memiliki pengaruh atas kebijakan fiskal ke depan," imbuhnya.
Ia mengungkapkan upaya menekan angka kemiskinan dan kesenjangan sosial harus menjadi prioritas utama. Pada pembicaraan pendahuluan antara Banggar DPR dan pemerintah, kata dia, menyepakati tingkat kemiskinan 7-8 persen, dan rasio gini 0,379 - 0,382, serta kemiskinan ekstrim 0 persen.
"Pimpinan Banggar DPR berharap menyepakati indikator kemiskinan dan rasio gini yang berada di angka bawah atas kesepakatan di atas," tukasnya.
(ega/ega)