Jakarta -
Presiden terpilih Prabowo Subianto berencana menyalurkan solar campur sawit 50% atau B50 paling lambat tahun depan. Target ambisius tersebut dinilai sulit tercapai lantaran masih ada beberapa kendala.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono menilai target tersebut tidak mungkin tercapai. Apalagi sebelum disalurkan harus membutuhkan uji coba terdahulu. Dia menyebut paling tidak awal 2026 baru dapat berjalan.
"Rasanya tidak mungkin kalau awal tahun depan, kenapa? Itu kan butuh uji coba. Nggak mungkin uji coba di 4 bulan itu. Jadi harus, paling tidak 2025 itu udah mulai uji coba. Ya paling memungkinkan ya mungkin di awal tahun 2026 baru bisa," kata Eddy kepada detikcom, Jumat (30/8/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, dia menilai program tersebut dapat memicu pemerintah untuk segera meningkatkan produktivitas, terutama sawit rakyat. Percepatan peremajaan sawit rakyat sangat lambat dan tidak pernah mencapai target. Hal ini dikarenakan masih ada banyak kendala, seperti lahan sawit masih masuk kawasan hutan hingga dana peremajaan sawit rakyat. Untuk dana peremajaan sawit rakyat, pemerintah memang telah menaikkan menjadi Rp 60 juta per hektare (ha) dari sebelumnya Rp 30 juta per ha.
"Masalahnya kan ada hambatan-hambatan di kebijakan, seperti kawasan hutan dan lain-lain. Ini kan sekarang pemerintah akan menaikkan hibah untuk sawit rakyat untuk peremajaan dari Rp 30 juta menjadi Rp 60 juta, yang kemungkinan akan direalisasikan di bulan September," jelasnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Gulat Manurung mengatakan apabila program B50 dipaksakan, produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) bisa kekurangan. Hal ini dapat memicu Indonesia menjadi importir CPO.
"Karena dengan memaksakan B50 itu justru Indonesia akan menjadi importir CPO Karena kita minus 1,2 juta ton di tahun 2025 nanti," katanya kepada detikcom.
Berlanjut ke halaman berikutnya.