Jakarta -
Pendapatan Arab Saudi dari ekspor minyak merosot ke level terendah dalam tiga tahun terakhir. Kondisi ini disebabkan oleh penurunan harga dan keputusan kerajaan untuk membatasi produksi minyak.
Dikutip dari Bloomberg, Jumat (23/8/2024), penjualan dari pengiriman minyak mentah dan produk olahan turun menjadi US$ 17,7 miliar atau sekitar Rp 274,35 triliun (Kurs Rp 15.500). Angka itu turun lebih dari 9% (YoY) dan sekitar 12% dari bulan Mei.
Pendapatan minyak tetap penting bagi Arab Saudi, pemimpin de facto OPEC dan pengekspor minyak mentah terbesar di dunia. Dana tersebut mendukung upaya Putra Mahkota Mohammed bin Salman untuk mentransformasi perekonomian melalui investasi besar, mulai dari kendaraan listrik, semikonduktor dan sepak bola.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dorongannya terhambat oleh penurunan arus masuk petro dolar sejak tahun 2022, ketika invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan harga minyak mentah melonjak hingga di atas US$ 120 per barel. Pada saat itu Arab Saudi memperoleh US$ 1 miliar dari ekspor minyak setiap hari.
Brent sekarang diperdagangkan sekitar US$ 76, turun 6,2% tahun ini. Kondisi ini sebagian besar disebabkan oleh kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi di Amerika Serikat dan China.
Kerajaan Arab Saudi harus mengurangi atau menunda beberapa proyek terbesarnya, termasuk bagian dari kota gurun baru yang luas yang dikenal sebagai Neom. Negara ini gagal mengangkat harga dengan strateginya memangkas produksi.
OPEC+, yang beranggotakan anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak dan negara-negara lain seperti Rusia, akan mulai meningkatkan produksi pada kuartal keempat. Meski begitu, kelompok tersebut dinilai masih gugup dengan rencananya karena harga minyak yang masih tertekan.
(ily/rrd)