Jakarta -
Anomali curah hujan melanda sejumlah negara, salah satunya Indonesia. Kondisi ini membuat curah hujan cukup tinggi, meskipun sudah memasuki musim kemarau.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, mengatakan pihaknya memprediksi kondisi yang disebut sebagai kemarau basah ini diperkirakan bakal berlangsung hingga Oktober 2026. Adapun kondisi tersebut sudah mulai terjadi sejak Mei 2025.
"Melemahnya Monsun Australia yang berasosiasi dengan musim kemarau turut menyebabkan suhu muka laut di selatan Indonesia tetap hangat dan hal ini berkontribusi terhadap terjadinya anomali curah hujan tersebut," urai Dwikorita.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menambahkan, gelombang Kelvin aktif yang terpantau melintas di pesisir utara Jawa, disertai perlambatan dan belokan angin di Jawa bagian barat dan selatan memicu penumpukan massa udara. Kemudian, konvergensi angin dan labilitas atmosfer lokal juga terpantau kuat sehingga mempercepat pertumbuhan awan hujan.
Berdasarkan laporan iklim global, BMKG, dan beberapa pusat iklim dunia, diprediksi ENSO (suhu muka air laut di Samudra Pasifik) dan IOD (suhu muka air laut di Samudra Hindia) akan tetap berada di fase netral pada semester kedua tahun 2025.
"Hal ini berarti dapat dipastikan bahwa sebagian wilayah Indonesia akan mengalami curah hujan di atas normal dari yang seharusnya terjadi di musim kemarau atau disebut juga dengan kemarau basah," ungkapnya.
Dwikorita mengatakan, kondisi tersebut memicu terjadinya potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan angin kencang. Kondisi anomali curah hujan ini juga membuat sejumlah daerah di Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jakarta terendam banjir.
"Hasil prediksi curah hujan bulanan menunjukkan bahwa anomali curah hujan yang sudah terjadi sejak Mei 2025 akan terus berlangsung, dengan kondisi curah hujan di atas normal terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia hingga Oktober 2025," ungkap Dwikorita.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR dari Fraksi PAN, Eddy Soeparno, berpandangan bahwa bencana alam seperti banjir di sejumlah daerah merupakan bukti dari perubahan iklim. Hal ini harus mendapat perhatian lebih dari berbagai pihak.
"Banjir yang terjadi di musim kemarau ini bukan hal biasa. Ini bukti bahwa pola cuaca kita sudah sangat tidak menentu. Pemerintah daerah dan pusat harus merespons cepat dengan memperkuat manajemen krisis, baik dalam sisi mitigasi maupun adaptasi terhadap krisis iklim," jelas Eddy.
Dia mengingatkan agar perubahan iklim bisa diatasi, penting untuk melakukan integrasi antara perencanaan tata ruang, sistem drainase, hingga keterlibatan masyarakat untuk jaga lingkungan. Anggota DPR Komisi XII DPR ini juga menilai semua pihak harus kompak untuk bersama-sama mengatasi dampak dari anomali curah hujan yang sedang terjadi saat ini.
"Kementerian terkait dan Pemerintah Daerah Jakarta dan sekitarnya sebaiknya satu suara dan kompak dalam kebijakan mencegah dampak krisis iklim ini semakin merusak. Jangan ada ego sektoral mencegah krisis iklim ini baik dari kebijakan di hulu untuk menjaga lingkungan maupun kebijakan di hilir dalam bentuk adaptasi tata ruang dan penghijauan di wilayah perkotaan," tuturnya.
Hal senada turut diungkapkan oleh Sekretaris Komisi A DPRD Jakarta Mujiyono. Dia menilai normalisasi sungai perlu dipercepat agar masalah banjir bisa diatasi. Lewat normalisasi, sungai bisa menampung air lebih banyak yang akan meminimalisir risiko banjir.
"Pembangunan infrastruktur fisik seperti pembangunan waduk, sistem polder, kolam retensi, normalisasi sungai, serta tanggul pantai dan proyek giant sea wall (NCICD) di kawasan pesisir harus menjadi prioritas," kata Mujiyono.
Dia pun meminta adanya peningkatan sinergi daerah sekitar Jakarta dalam pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung-Cisadane sesuai Roadmap Pengembangan Infrastruktur Pengendalian Banjir 2024. Dia juga mendesak pendekatan berbasis lingkungan.
"Mengintensifkan pendekatan berbasis alam (nature-based solutions) melalui optimalisasi ruang terbuka hijau-biru, pembangunan sumur resapan, revitalisasi daerah cekungan dan pembangunan embung atau waduk skala kecil dalam jumlah banyak yang tersebar secara merata untuk meningkatkan kapasitas penyerapan air," ujarnya.
Khusus di Jakarta, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, mengakui curah hujan tinggi hingga rob menyebabkan sejumlah wilayah tergenang. Curah hujan tinggi juga terjadi di sejumlah daerah penyangga seperti Depok, Bogor, dan Bekasi.
"Yang pertama adalah banjir kiriman, yang kedua adalah banjir karena curah hujan yang ada di tempat di Jakarta, yang ketiga pas bersamaan rob permukaan air lautnya naik," jelas Pramono.
Dia mengatakan, pihaknya juga telah menyiapkan sejumlah strategi untuk menga...