Jakarta -
Okan Kornelius mendatangi Bareskrim Polri pada Senin (7/7/2025) untuk mendampingi tantenya, Shinta Condro, melaporkan kasus dugaan mafia tanah yang terjadi di Kota Semarang, Jawa Tengah.
Okan dan tantenya didampingi kuasa hukum mereka, Sri Dharen. Saat ditemui di gedung Bareskrim, Okan menjelaskan maksud kehadiran mengawal tante menghadapi kasus ini.
"Kasus atau kegelisahan tante yang cukup lama dan menghadapi jalan buntu. Makanya Tante ada telepon saya, kebetulan kenal, untuk minta opini bagaimana dan harus bagaimana karena takut salah," ujar Okan Kornelius di gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan pada Senin (7/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Okan Kornelius langsung membantu untuk mengambil langkah hukum selanjutnya.
"Karena saya kurang memahami secara garis besar, jadi saya menghubungi Bang Dharen. Oleh karena itu, ya kita saling support untuk mencari sedikit keadilan," jelas Okan.
Sementara itu, Sri Dharen membeberkan kronologi kasus ini. Tante Okan memiliki sebidang tanah seluas 1.200 meter persegi di Jalan Rinjani, Kota Semarang, Jawa Tengah.
"Tanah ini beliau miliki dengan fatwa HGB sejak tahun 1986. Dalam perjalanan, ada oknum yang memalsukan akta jual beli sehingga terbit HGB atas tanah tersebut," terang Sri Dharen.
Sri Dharen menambahkan, laporan ke pihak berwajib sudah dilakukan. Namun, HGB tanah itu bermasalah.
"Sudah dilaporkan ke pihak yang berwajib pada waktu itu, pelaku pemalsuan sudah diproses dan ditahan. Jadi otomatis HGB ini adalah produk cacat hukum. Sudah diberikan tembusan kepada pihak BPR untuk membatalkan HGB tapi tidak terjadi. HGB ini sudah habis masanya pada tahun 2013," ungkapnya.
Lebih lanjut Sri mengatakan, lurah di daerah tersebut awalnya mengakui tanah milik Shinta. Namun, terjadi perubahan setelah pergantian lurah.
"Setelah itu ada seorang lurah sampai tahun 2018 tanah tersebut masih mendapatkan surat 3 serangkai dari lurah setempat yang mengakui bahwa tanah tersebut milik Ibu Shinta. Namun, setelah berganti lurah dan sampai di gugatan PTUN, lurah baru tersebut tidak mau menyatakan surat kepemilikan tersebut adalah milik klien kami, malah memberikan surat rekomendasi kepada pihak lawan yang bukan penduduk," jelas Sri.
"Lurah ini mengeluarkan surat pernyataan pada 28 April 2020, lalu pada 11 Mei mencabut kembali surat tersebut setelah 13 hari dengan alasan khilaf," lanjutnya.
Kasus ini membuat keluarga Okan melaporkan beberapa orang yang diduga terlibat, termasuk mantan lurah wilayah tersebut.
"Selain laporan ke Bareskrim, kami juga pernah melaporkan ke inspektorat wali kota Semarang, tapi tidak mendapat respons. Maka kami putuskan untuk membuat laporan di Bareskrim agar lebih netral. Hari ini kami dipanggil untuk pemeriksaan," ujar Sri Dharen.
Kasus ini diduga melanggar unsur pemalsuan dokumen, dengan laporan mengacu pada Pasal 260 KUHP tentang pemalsuan.
(pus/wes)